Santri Salaf VS Santri Digital

Barangkali
tak pernah terbayangkan di benak Syekh Nawawi al-Banteni bahwa
lembaran-lembaran kitab yang ditulisnya dengan tangan (kitab kuning)
itu akan dikonvert menjadi sekecil telunjuk tangan dan dapat diselipkan
di katong celana, bahkan dengan mudah kita pindah-tempatkan dari satu
flashdiks ke flashdisk yang lain.
Tak
perah terfikirkan barangkali bahwa ribuan jilid kitab yang ditulis oleh
ulama’ terdahulu, yang ditulis bertahun-tahun dan membutuhkan jutaan
lembar kertas — yang sekarang kita sebut sebagai manuskrip
(al-mutathawwilaat) — akan bisa dengan mudah kita bawa kemana-mana
dengan menggunakan laptop Note Book dan gratis kita dapatkan hanya
dengan sekali klik dari tempat di manapun selama terkoneksi ke internet.
Contoh
paling nyata adalah dengan dirilisnya Maktabah Syamilah yang memuat
ribuan kitab klasik berbahasa arab, dimana perjudul kitab kadang ada
yang sampai puluhan jilid. Maktabah Syamilah ini diterbitkan oleh
jaringan Da’wah Islamiyah al-Misykat dan untuk menginstalnya kita
membutukan ruang kosong di Hard Disk minimal 4.2 GB. Memory (RAM)
minimal 128 MB. Sistem operasi: Microsoft Windows Arabic (Win95 Arabic
atau Win98 Arabic) atau WinXP yang di-enable arabic-nya. Untuk info
lengkapnya sahabat bisa klik postingan saya terdahulu tentang Maktabah
Syamilah ini.
Lalu
apa hubungannya antara Maktabah Syamilah dengan santri digital? Tunggu
dulu. Mari kita diskusikan sejenak istilah “Santri Digital” secara
defenitif-konseptual. Sebuah istilah, — termasuk santri digital, sastra
digital — barangkali memang merupakan hasil pertarungan konstruksi
bahasa manusia sebagai pembicara dengan realitas eksistensi di luar
dirinya. Term santri dan digital merupakan dua entitas yang sama sekali
berbeda, baik dari sisi implementasi maupun konteks nalar dan narasinya.
Maka tidak heran ketika mendengar istilah santri digital — sebagaimana
juga perdebatan istilah sastra pesantern — sebagian orang bisa saja
menertawakan dan mencibirnya, karena secara geneologis istilah santri
dan digital jelas tidak memiliki korelasi mutulistik apapun selain hanya
mengada-ada. Santri hanyalah makhluk-makhluk yang berkutat dengan
persoalan spritual dan teologi, dan karenanya seringkali mendapatkan
stigma tardisional, sementara digital adalah objek kajian virtual dan
teknologi, dan karenanya dianggap modern.
Ditelisik
dari ranah historiografinya, istilah santri memang menuai perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa
Tamil, yang berarti guru mengaji. Literatur lain menyebutkan berasal
dari kata Sansakerta “Shastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku
suci Agama HIndu, atau buku-buku agama dan ilmu pengetahuan. Bahkan
keterangan lain mencoba menghubungkan antara diksi santri dengan kata
“santriya” atau “kesatriya”, yang berkaitan dengan hakikat keutamaan dan
keluhuran kepribadian yang dimiliki oleh tokoh Pandawa dalam Epos
Mahabarata yang terkenal dalam dunia pewayangan di Jawa.
Sedangkan
istilah Digital, menurut beberapa literatur, merupakan hasil teknologi
yang mengubah sinyal menjadi kombinasi urutan bilangan 0 dan 1 (disebut
juga dengan biner) untuk proses informasi yang mudah, cepat dan akurat.
Sinyal tersebut disebut sebuah bit. Sinyal digital ini memiliki berbagai
keistimewaan yang unik yang tidak dapat ditemukan pada teknologi
analog, yaitu:
1. Mampu mengirimkan informasi dengan kecepatan cahaya yang dapat membuat informasi dapat dikirim dengan kecepatan tinggi.
2. Penggunaan yang berulang-ulang terhadap informasi tidak mempengaruhi kualitas dan kuantitas informasi itu sendiri,
3. Informasi dapat dengan mudah diproses dan dimodifikasi ke dalam berbagai bentuk,
4. Dapat memproses informasi dalam jumlah yang sangat besar dan mengirimnya secara interaktif.
Nah,
uraian di atas sedikitinya telah memberikan gambaran bagaimana
sebenarnya posisi santri dan makhluk bernama digital memiliki batas dan
distingsi yang berbeda. Jadi sangat mengelitik bukan kalau tiba-tiba
muncul istilah “santri Digital”? Jangan-jangan istilah santri digital
hanyalah “gincu merah”, sebagaimana yang dituduhkan Binhad Nurrahmat
yang “mencibir” istilah Sastra Pesantren? Bagi sebagian orang, mungkin
ya! Tetapi bagi mereka yang berfikir sedikit objektif bahwa sebuah
potensi tidaklah given secara total, melaikan dapat diperoleh dengan
usaha sungguh-sungguh dan tanpa memandang tempat, fasilitas dan waktu,
maka santri sebagai manusia dengan streotip tradisional bin kolot alias
gaptek tidak serta merta berarti ketinggalan teknologi.
Sederhananya,
komunitas santri yang pada mulanya hanya bertkutat dengan huruf-huruf
gundul alias tidak berharkat, saat ini sudah tidak sespesifik dan
sesempit itu. Wilayah “pengajian” santri sudah merambah ke dunia
virtual-digital yang konon katanya sarat dengan fasilitas yang
memanjakan. Lihatlah bagaimana pesatnya perkembangan pesantren yang
sudah membuka Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), kursus IT dan desain
grafis. Lihatlah pula bagiamana para santri telah menyesaki dunia
blogsphere dengan kajian-kajian kitab kuningnya serta pengajian
keagamaan lainnya, seperti pesantrenvirtual.com, pesantren.icmi-na.org,
dan komunitas blogger santri lainnya.
Dari
situlah barangkali embrio lahirnya istilah Santri Digital menemukan
relevansinya, sehingga tidak aneh bila kelahiran proses digitalisasi
kitab kuning semakin marak memenuhi jagat raya bernama internet. Para
santri dan pengkaji disiplin keislaman tidak lagi direpotkan dengan
persoalan efesiensi dan efektifitas pembelajaran, karena hanya dengan
duduk di depan komputer mereka sudah bisa mengakses jutaan kitab yang
siap didownload mapun dinikatai dengan hanya membaca.
Pada
akhirnya, proses akselerasi teknologi sejatinya tidak membawa dampak
yang monolitik. Ia selalu menawarkan dua sisi konsekuansi logis, baik
postitif maupun negatif. Sebagai orang yang pernah “nyantri”, saya
berharap semoga kehadiran dunia digital tidak membawa dampak yang melulu
negatif, melainkan lebih banyak positif dan manfaatnya.
0 komentar:
Posting Komentar